Akuisisi Merek, Jalan Pintas Penuh Risiko
Akuisisi merek adalah sebuah pertaruhan yang tak mudah. Namun, di tengah tekanan besar kalangan investor terhadap dunia usaha untuk terus berkembang — suatu hal yang sering takgampang dipenuhi hanya dengan pertumbuhan organik — strategi yang satu ini merupakan alternatif menarik. Apalagi, banyak bukti menunjukkan bahwa dengan mengandalkan (mergerdan) akuisisi, sebuah perusahaan dapat melakukan lompatan kuantum, bahkan mengibarkan diri jadi yang terbesar.
Ambil contoh General Motors (GM). Kampiun asal Detroit ini mampu mengalahkan pionir produksi massal produk otomotif, Ford Motor Co., bahkan mengibarkan diri jadi perusahaan manufaktur terakbar melalui akuisisi beragam merek di berbagai belahan dunia. Jejak (merger dan) akuisisi tersebut terlihat jelas dari portofolio merek yang mereka miliki. Zafira yang di Amerika Serikat dipasarkan di bawah bendera Chevrolet, misalnya, di Eropa saja mengusung lebih dari satu bendera, termasuk Opel (di Jerman) dan Vauxhall (di Inggris). Di Australia, produk multipurpose vehicle andalan GM ini dipasarkan sebagai Holden Zafira.
Di industri elektronik, keunggulan strategi ala Coca-Cola ini dibuktikan oleh Samsung dan LG. Mengusung nama perusahaan sekaligus sebagai merek tunggal, kedua chaebol Korea ini mampu menembus dominasi para samurai industri elektronik Jepang. Betul, kemerosotan Sony dan Matsushita, penjaga gawang utama industri elektronik dunia, ikut memuluskan jalan Samsung dan LG menuju ke puncak. Namun, kalau dianalisis lebih lanjut, ketidakmampuan kedua samurai industri elektronik Jepang tersebut . Terutama Sony yang biasanya sangat inovatif merespons kemajuan luar biasa teknologi, karena mereka kelewat sibuk dengan mainan baru, merek Hollywood yang mereka akuisisi.
Masuknya Sony ke industri peranti lunak (konten, dalam bentuk film dan, terutama, musik) ini membuat mereka enggan mengadopsi format teknologi populer, misalnya MP3, yang dapat memfasilitasi pembajakan. Dari satu sisi, upaya mencegah terpukulnya bisnis peranti lunak yang mereka miliki ini dapat dimengerti. Sayangnya, kebijakan tersebut yang memasung inovasi sehingga justru Apple. Perusahaan komputer personal yang meluncurkan “Walkman abad ke-21. Padahal, sebelum era iPod ini, Sony selalu terdepan dalam inovasi, bahkan penciptaan kategori, produk.
Lebih dari itu, perhatian Sony yang terpecah ke peranti lunak juga membuat samurai industry elekronik asal Tokyo ini luput mengantisipasi kemajuan teknologi digital, plasma dan LCD. Dan, ketika akhirnya mereka meluncurkan produk-produk abad ke-21 tersebut, kedua chaebol Korea, terutama Samsung, telah melompat jauh ke depan. Matsushita yang lalu melego bisnis peranti lunaknya juga terlambat melakukan pembenahan. Baru, setelah babak belur di banyak pasar, samurai bisnis yang dulu dijuluki “Toyotanya industri elektronik mengonsolidasikan merek yang dimilikinya jadi Panasonic dengan menghapus merek lain yang mereka miliki, termasuk National dan Technics.
Di industri produk konsumer, keberhasilan Coca-Cola meraksasa dengan hanya mengandalkan merek tunggal boleh dibilang merupakan keberuntungan sejarah dan, karenanya, kekecualian yang langka. Sebagai pionir produk minuman kola, Coca-Cola bukan sekadar merek melainkan menjadi gaya hidup, bahkan budaya. Inilah yang menjadikan Coca-Cola dan Disney di industri hiburan sulit dilawan dengan strategi satu merek tunggal yang sama.
Kendati demikian, bukan berarti model bisnis Coca-Cola tak punya kelemahan. Tak mampu menumbangkan dominasi si Merah di pasar minuman kola, PepsiCo menyerbu melalui kategori minuman ringan lain. Kalah dalam “Perang Cola, PepsiCo si Biru memperluas jadi “Perang Soda , bahkan lalu jadi lebih luas lagi: “Perang Minuman
Kelewat bangga dengan dominasi di minuman kola, Coca-Cola tak kelewat memperhatikan manuver PepsiCo. Jauh sebelum si Merah menyadari, PepsiCo telah meluncurkan produk air minum dalam kemasan dan menjenuhi pasar minuman olah raga. Saat ini, Aquafina (milik
PepsiCo) berkibar di puncak dengan Dasani (milik Coca-Cola) jauh tertinggal di belakang. Gatorade bahkan menggenggam 80% pasar minuman olah raga, membuat Powerade harus puas dengan 15% pangsa pasar.
Ulasan
Apabila mencermati contoh kasus di atas, maka dapat diambil sebuah ulasan tentang etika bisnis dalam ruang lingkup akuisisi merek yang dilakukan oleh sebuah perusahan dalam rangka mendapatkan sinergi atau nilai tambah. Belakangan, akuisisi seperti yang dilakukan oleh perusahaan rupanya telah menjadi salah satu modus yang kian penting bagi perusahaan-perusahaan multinasional dalam ekspansinya ke pasar Asia, termasuk Indonesia, baik yang dilakukan lewat akuisisi bisnis maupun akuisisi merek.
Menurut Ignas G. Sidik, pengajar senior sekaligus pembantu ketua urusan riset Prasetiya Mulya Business School, ada banyak alasan mengapa perusahaan mengambil alih sebuah bisnis/merek. Selain murni motifnya investasi, Ignas Sidik melihat ada tiga motif lain yang mendorong terjadinya proses itu, yakni motivasi untuk mencoba pada sebuah kategori produk baru, mencari kompetensi yang dibutuhkan dengan cara yang lebih cepat (misalnya, jaringan bisnis atau customer base -nya), dan mencari pijakan untuk menyerbu pasar pada kategori yang belum dikenalnya.
Dalam Prakteknya, terdapat 3 model akuisisi. Antara lain :
1. Akuisisi Model Pertama adalah apabila beberapa perusahaan multinasional melakukannya dengan berbagai cara yang berbeda. Model pertama, mereka mengakuisisi seluruh bisnisnya, baik merek maupun fasilitas produksinya.
2. Akuisisi Model Kedua adalah dengan mengambil alih mereknya saja, tidak termasuk saham perusahaannya. Lalu setelah pengambilalihan, fasilitas produksinya pun tetap memakai pabrik lama. Hanya urusan distribusi dan pemasaran kini ditangani oleh perusahaan pengambil alih.
3. Akuisis Model Ketiga adalah pengambila alihan hanya mereknya saja. Urusan produksi, distribusi, dan pemasaran, semuanya memakai fasilitas si pengambil alih.
Tiga model akuisisi tadi yang dilakukan perusahaan-perusahaan agaknya kian menjadi pilihan bagi mereka guna mempertahankan pertumbuhan bisnisnya. Sasarannya jelas: pasar Asia--termasuk Indonesia. Pasalnya, di sanalah potensi masih terbuka lebar ketimbang di negara asalnya yang persaingannya sudah kian sengit. Untuk itu mereka pun siap mengucurkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit.Apapun itu, tujuan perusahaan ini adalah mempertahan pertunbuhan bisnisnya dan mendapatkan nilai tambah.
Daftar Pustaka
- http://agusbaktiono.dosen.narotama.ac.id/2011/04/27/akuisisi-merek-jalan-pintas-penuh-risiko/
- http://refrinal.blogspot.com/2008/05/strategi-akuisisi-merek.html